Tuesday, 24 March 2015

   Apakah matematika ada jika manusia tidak ada? Sejak zaman kuno, manusia telah berdebat dengan sengit apakah matematika ditemukan atau diciptakan.



Apakah kita menciptakan konsep-konsep matematika untuk membantu kita memahami alam semesta di sekitar kita, atau matematika adalah bahasa asli dari alam semesta itu sendiri, yang akan tetap ada tak peduli apakah kita menemukan kebenaran/kesahihan atau tidak?

Apakah bilangan-bilangan, poligon-poligon dan persamaan-persamaan adalah benar-benar nyata, atau hanya representasi ethereal dari beberapa ide teoritis?

Realitas independen dari matematika memiliki beberapa pendukung kuno. Pythagorean percaya bahwa bilangan-bilangan adalah entitas-entitas yang hidup dan juga prinsip-prinsip universal. Mereka menyebut angka satu, "monad", adalah generator dari semua angka lainnya dan sumber semua ciptaan. Bilangan adalah agen aktif di alam.

Plato berpendapat konsep-konsep matematika adalah konkrit dan nyata seperti alam semesta itu sendiri, terlepas dari pengetahuan kita tentang mereka.

Euclid, bapak geometri, percaya bahwa alam adalah manifestasi fisik dari hukum-hukum matematika.

Yang lainnya berpendapat bahwa meskipun angka-angka mungkin dan mungkin tidak eksis secara fisik, namun statement matematika sudah pasti tidak. Nilai-nilai kebenaran mereka didasarkan pada aturan-aturan yang manusia ciptakan.

Matematika adalah hasil ciptaan dari olah logika, sebuah bahasa dari hubungan abstrak berdasarkan pola-pola yang dilihat oleh otak, yang dibangun untuk menggunakan pola-pola tersebut untuk menciptakan keteraturan buatan yang berguna dari kekacauan.

Salah satu pendukung ide semacam ini adalah Leopold Kronecker, seorang profesor matematika di abad ke-19 Jerman. Keyakinannya terangkum dalam pernyataan yang terkenal:
"Tuhan hanya menciptakan bilangan-bilangan alami (natural numbers), dan yang lainnya merupakan ciptaan manusia."

Selama hidupnya matematikawan David Hilbert, terdorong untuk membangun matematika sebagai suatu konstruksi logis. Hilbert berusaha untuk meng aksiom kan semua matematika, seperti yang dilakukan Euclid dengan geometri. Dia dan beberapa lainnya melihat matematika sebagai permainan filosofis dan hanya permainan, tidak lebih.

Henri Poincaré, salah satu bapak dari geometri non-Euclidean, percaya bahwa keberadaan non-Euclidean geometri, yang berurusan dengan permukaan non-datar hiperbolik dan elips, membuktikan bahwa geometri Euclidean, geometri yang telah ada sejak lama dari permukaan datar, bukan kebenaran universal, melainkan adalah salah satu hasil dari penggunaan satu set aturan permainan tertentu.

Namun pada tahun 1960, Fisikawan penerima Nobel, Eugene Wigner menciptakan istilah, "Keefektivitasan yang tidak masuk akal dari matematika," mendorong kuat untuk ide bahwa matematika adalah nyata dan manusia hanya menemukannya.

Wigner menunjukkan bahwa banyak teori murni matematika yang dikembangkan dalam ruang hampa, atau dibangun tanpa maksud untuk menjelaskan setiap fenomena fisik, telah terbukti puluhan tahun atau bahkan berabad-abad kemudian, menjadi kerangka kerja yang diperlukan untuk menjelaskan bagaimana alam semesta telah bekerja selama ini.

Misalnya, teori bilangan dari matematikawan Inggris Gottfried Hardy, yang pernah membual bahwa tidak ada dari karya-karyanya yang akan pernah ditemukan berguna dalam menjelaskan setiap fenomena di dunia nyata, ternyata menjadi dasar dari ilmu kriptografi, bahkan kemudian karya "murni matematis"nya digunakan oleh Weinberg dalam genetika dan dikenal sebagai hukum Hardy-Weinberg yang memenangkan hadiah Nobel.

Dan Fibonacci menemukan barisan bilangan nya yang terkenal saat melihat pertumbuhan populasi kelinci ideal. Manusia kemudian menemukan barisan bilangan fibonacci di mana-mana di alam, dari biji bunga matahari dan kelopak bunga, struktur nanas, bahkan percabangan dari bronkus di paru-paru.

Atau karya non-Euclidean dari Bernhard Riemann pada 1850-an, yang digunakan Einstein dalam model untuk relativitas umum seabad kemudian.

Berikut ini adalah lompatan yang lebih besar: teori simpul matematika, yang pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1771 untuk menggambarkan geometri posisi, digunakan pada akhir abad ke-20 untuk menjelaskan bagaimana DNA membongkar sendiri selama proses replikasi. Bahkan mungkin memberikan penjelasan kunci bagi teori string.

Beberapa ilmuwan paling berpengaruh dan ilmuwan dari seluruh sejarah manusia telah memberi pendapatnya pada masalah ini juga, dan seringnya dengan cara yang mengejutkan.

Jadi, apakah matematika adalah penemuan atau ciptaan? Sebuah konstruksi artifisial atau kebenaran universal? Produk manusia atau alam, atau ciptaan Tuhan?

Jawabannya mungkin tergantung pada konsep tertentu yang dilihat, tapi akan terasa seperti **Koan Zen yang terdistorsi.

Jika ada sejumlah pohon di hutan, tapi tidak ada yang ada untuk menghitungnya, apakah jumlah itu akan ada?




** Koan adalah sebuah kisah atau sebuah dialog atau sebuah debat yang digunakan sebagai sebuah wahana sastra oleh para guru Zen untuk membimbing murid-murid mereka dalam pelatihan olah pikiran dan olah intuisi untuk tiba pada pencerahan budi.

1 comments: